Pages

Sunday, March 4, 2012

Merindui Ayah

Bagiku Ayah adalah sosok yang kukenal lewat selembar foto masa silam kala beliau masih bersama Bunda, lalu seiring waktu akupun lebih mengakrabi Ayah lewat sepenggal cerita dari Bunda. Mengapa demikian? Karena ayahku telah pergi jauh sebelum kelahiranku.

Dahulu bila rinduku pada Ayah membuncah, akupun akan meminta Bunda bercerita tentangnya, lalu bundakupun akan memulai dan mengulangi cerita yang sama. Bunda senantiasa bercerita bahwasanya Ayah adalah sosok yang penyayang, perhatian, penyabar, serta pintar dan tiap kali Bunda memotong kuku tangan dan kakiku, beliau akan berujar, "Nduk, bentuk jari kaki dan tanganmu sangat mirip dengan Ayahmu, kulitmu juga warisan dari Ayahmu." Memang bila memperhatikan kulit Bunda yang sawo matang, bisa dipastikan kalau kulit kuning langsatku adalah warisan dari Ayah.

Selembar foto yang makin menua itu kini kusimpan rapat-rapat dalam sebuah kotak. Kotak itu kusimpan dengan rapih agar tak seorangpun tahu bahwa aku masih menyimpan gambar ayah disana. Yah....tak seorangpun tahu, bahkan Bundapun tak tahu. Apalagi semenjak kepergian Bunda, rasanya hampir semua orang melarangku untuk mengenang ataupun merindui ayah. Mereka selalu beralasan bahwa mengenang ayah hanya akan membuatku semakin sedih. Mereka tak pernah sedikitpun tahu bahwa larangan mereka itulah yang justru membuatku makin sedih. Meski bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan ayah, namun rasanya itu tak pernah bisa kulakukan.

Saat aku menginjak dewasa, kerinduanku pada Ayahpun semakin membuncah. Kerinduan yang selalu membuatku bingung pada siapakah harus kusampaikan? Semakin lama kutahan, semakin sakit pula aku karena rindu ini!

"Rindu itu seperti api di dalam sekam, makin lama kurasakan semakin membara membakar dadaku."

Pada akhirnya dalam pencarianku akan sosok ayah, akupun bertemu dengan dia. Sesosok 'ayah' yang kucari. Beliau adalah sosok yang cool, jaim, spontan, kharismatik namun tak pernah kehilangan selera humor, pintar, dan handal, rasanya tak ada persoalan yang buntu bila aku lari padanya. Semakin hari kurasa aku semakin menyayanginya. Dia tahu kapan saat dia harus membelai kepalaku, menuntunku saat aku tak tahu jalan. Diapun tahu kapan saat dia harus memelukku, meraih kepalaku dan menyandarkannya di dadanya. Saat itulah akupun yakin bahwa diapun menyayangiku dan senantiasa siap sedia untukku.

"Dalam pelukanmu kurasakan kehangatan, ketulusan kasih dan perlindunganmu padaku dan aku senantiasa berterima kasih atas semua rasa ini" 

Kadang dalam diam saat kami bersama, ingin rasanya aku bertanya bilamana beliau bersedia menjadi Ayahku? Sehingga aku bisa setiap saat aku bisa memeluknya tanpa merasa canggung bila ada orang yang asing, akupun akan merasa bebas membanggakan dan memamerkan dia pada siapapun tanpa kerlingan heran dari mereka.

Untukmu 'Ayah', hadirmu adalah wujud doaku akan sosok 'Ayahku'. Bagiku merinduimu seperti merindui Ayahku, namun rindu ini terasa nyata dan pengobatnyapun nyata pula. Kebersamaan kita adalah momen berharga yang akan selalu kuhargai dan kurindui. Terima kasih atas segala kasih dan ketulusanmu. Semoga berkah dan rahmat Alloh akan senantiasa menyertai langkahmu.

2 comments:

siwi mars said...

butuh wawancara mendalam setelah membacai postingan ini *ada sebuah tanda tanya di kepalaku..hihi ;p

Suryati Arifatul Laili said...

Wah saya sedang tidak enak badan, wawancaranya ditunda 2 minggu lagi ya? ;p
*Ikut2an gaya selebritis kalau lagi berkelit dari wartawan :D

Post a Comment