Pages

Sunday, February 19, 2012

Uang Seribu Rupiah

Mentari sudah mulai menyelinap ke peraduannya ketika saya mulai melaju untuk pulang. Lelah dan lapar pun menyerang tak terperi. Sementara saya pribadi bukan tipikal orang yang suka dan bisa menahan lapar. Bila lapar menyerang dan tak segera tersalurkan maka badan saya akan gemetaran, terutama tangan, istilah medisnya tremor. Secara Biologis, proses rasa lapar dimulai ketika asupan glukosa ke otak kurang sehingga otakpun mengirimkan sinyal rasa lapar. Apabila rasa lapar saya tak segera direspon maka berbagai gejala seperti gemetar, keringat dingin dan kadang kala pusingpun ikut menyerang dan bilamana lapar saya mulai kronis kadang kala bahkan saya sampai muntah. Sebagian dari kalian pasti tercengang heran mendengar ceritaku ini. Yah tapi itulah kenyataan dan juga romantika yang saya hadapi mana kala rasa lapar menyerang dahsyat.

Akan tetapi bila lapar itu memang sudah saya niatkan (baca: lapar yang diniatkan=puasa), yaitu manakala bulan puasa atau saat saya menjalankan ibadah puasa maka lapar berikut segala macam gejala-gejala yang menyertainya tersebut tak muncul sama sekali. Kalian heran? Kalian merasa ada yang aneh? Bukan hanya kalian, orang-orang di sekeliling saya sering kali merasakan keheranan yang sama, dan saya sendiripun ikut terheran-heran hehehe...

Tepat beberapa saat mendekati rumah sewaan saya, nun di kejauhan saya melihat ada abang tukang roti. Wah kebetulan sekali ini pikir saya. Saya sudah lapar dan rasanya sebelum bersiap mempersiapkan hidangan makan malam perut saya harus diganjal terlebih dahulu. Saya yakin roti merupakan pilihan paling tepat. Paling tidak saya juga ikut berjasa membantu si Abang menghabiskan barang daganganya supaya dia bisa cepat pulang dan beristirahat.

Sayapun mengamati si Abang pedagang roti dan merasa terenyuh. Dia penuh semangat bekerja menjajakan rotinya dari pagi tepat selepas Subuh hingga petang hari menjelang Maghrib, bahkan kadang kala malam haripun si abang masih berkeliling dengan sepedanya yang butut. Fiuh....sungguh perjuangan yang luar biasa demi keluarga dan masa depannya.

Tak lama berselang sayapun menyetop si Abang Roti dan kemudian terjadilah transaksi antara saya dengannya.
"Bang rotinya dong? Panggil saya ke si Abang Roti.
"Roti apa?" Sahut si Abang pelan.
"Roti pisangnya ada bang?"
"Ada."
"Oya, isinya apa Bang? Keju apa cokelat?"
"Wah saya tidak tahu isinya apa, pokoknya roti pisang itu saja yang saya tahu."  Jawab si abang disertai senyumnya yang polos.

Sayapun menggaruk-garuk kepala saya meskipun tak gatal, saya menggaruknya karena heran. Bagaimana mungkin si Abang tidak tahu isi roti yang dijualnya. Tapi....Ah sudahlah untuk apa saya berdebat dan pusing memikirkan keanehan si Abangnya. Mungkin saja si Abang baru saja menjadi tukang roti jadi belum paham bilamana biasanya roti pisang itu isinya selain pisang biasanya ada tambahan lainnya seperti selai, keju, cokelat, dan lain-lain. Meskipun kadang kala hanya pisang saja tanpa tambahan yang lainnya.

Setelah beberapa saat tercenung, akhirnya sayapun menghampiri si Abang yang sudah siap dengan bungkusan roti di tangannya. Entah kapan dia mengambil rotinya barangkali tadi saat saya tercenung keheranan.
"Berapaan Bang rotinya?"
"Seribu Kak."
"Haaaaah? Maaf Bang berapa tadi harga rotinya? Saya kurang jelas tadi." Tanya saya demi mendengar jawaban si Abang yang janggal di kuping saya.
"Seribu"
"Oh My God!" Teriak saya dalam hati. Hari gini ada roti seharga seribu rupiah di Tangerang pula yang notabene bertetangga dengan Jakarta dan harga makanannya tak jauh berbeda.
"Ya sudah, saya beli dua ya Bang?" Jawab saya.

Tak lama kemudian 2 bungkus roti pisangpun berpindah ke tangan saya. Sayapun menyerahkan uang dua ribu rupiah kepada si Abang.

"Terima kasih ya Bang rotinya" Ucap saya.
"Sama-sama Kak"

Tak lama kemudian si Abangpun bergegas kembali melaju dengan sepeda bututnya meninggalkan saya yang masih terbengong-bengong heran di depan rumah. 

Masya Alloh, ini roti bahan bakunya berapa? 
Berapa upah tenaga kerjanya? 
Berapa untung si pengusaha roti? 
Berapa untung yang didapatkan si Abang? 

Semua pertanyaan itu berkecamuk di kepala saya sambil memandangi 2 bungkus roti yang ada di tangan saya. Bagi yang penasaran dengan bentuk si Roti, beginilah kurang lebih perwujudan si Roti seribu itu.


Tak seburuk bayangmu bukan? Yah memang demikian, si Roti seribu itu tetaplah berwujud roti. Hanya saja tampilannya memang tak semenarik tampilan roti yang ada di gerai-gerai roti yang biasa kalian kunjungi itu.

Demi memuaskan rasa penasaran saya. Akhirnya saya memutuskan untuk mencicipinya meski berbagai ragu berkecamuk di kepala.

Nanti kalau keracunan bagaimana? 
Kalau tidak enak bagaimana?

Sungguh pertanyaan-pertanyaan konyol dan tolol. Kalau rotinya beracun pastinya si Abang sudah lama meringkuk di penjara. Kalau soal rasa, apa yang bisa kauharapkan dari roti seharga seribu rupiah? Pasti hanyalah kenyang semata.

Setelah menepiskan semua ragu dan tanya sayapun mulai menikmati roti tersebut. Perlahan saya mulai membuka bungkusnya. Saya pun mulai menggigit ujungnya, mengunyahnya secara perlahan, menikmati rasanya dengan seksama bak gaya para pakar kuliner itu. Kunyahan pertama pun mulai memasuki kerongkongan saya.

Subhanalloh...
Mata sayapun berkaca-kaca seketika. Roti ini sama sekali tak buruk. Tidak lezat memang namun cukup. Apalagi bilamana mengingat harganya yang hanya seribu rupiah. Barangkali ini adalah roti terenak sepanjang hidup saya. Rotinya lumayan empuk dan isinya pisang asli bukan pisang palsu seperti prasangka saya. Ada kombinasi cokelat yang menurut saya rasanya agak aneh meski tak pula buruk. Sepertinya si pembuat roti mencampur cokelat bubuk dengan tepung sehingga cokelat hanya sebagai essence (aroma) saja. Maklumlah namanya juga roti seribu rupiah. Secara keseluruhan menurut saya roti ini lumayan, apalagi bila mengingat harganya yang hanya seribu dan saya yang menikmatinya di tengah rasa lapar. Rasa lapar sayapun menguap setelah menghabiskan satu bungkus roti ini.

Seminggu sebelumnya saya terheran-heran dengan cerita teman saya soal roti yang dijual di depan pabrik tempat kerjanya. Yah roti itu berharga Rp 2000,-. Roti dua ribu itu jadi menu andalan untuk sarapan paginya. Sama seperti saya diapun heran. Namun sarapan paginya jadi tambah nikmat karena roti itu seringkali ditemani sekotak susu Utra. Saya yakin dia akan lebih heran lagi mendengar saya menemukan roti seharga seribu rupiah :)

Setelah lima tahun tinggal di kota ini baru hari ini saya menyadari bahwa stigma Jakarta dan kota sekitarnya mahal itu tak mutlak 100% benar adanya. Jika di kotaku dengan seribu rupiah kita sudah bisa mendapat nasi megono plus bakmi yang mengenyangkan. Namun siapa nyana kalau disini ternyata dengan seribu rupiah pun saya juga bisa dikenyangkan dengan sepotong roti pisang.

Tak hanya roti pisang ini saja yang bisa mengenyangkan perut saya dengan hanya merogoh kocek dan mengeluarkan uang seribu rupiah. Masih ada gorengan nikmat, makanan favorit sejuta umat. Tepatnya tak jauh dari tempat tinggal saya ada tukang gorengan yang menjual dagangannya hanya seharga Rp 500,- (gopek) per potongnya. Kalian pasti akan bilang, "Ah sudah biasa kalau gorengan harganya sepotong hanya Rp 500,- ". Eits....tunggu dulu! Gorengan ini beda dari yang biasanya kau jumpai itu kawan! Gorengan ini sungguh besar, seukuran gorengan seharga Rp 2000,- di kantin kantor. Wujudnya juga rupawan, pertanda minyak yang digunakan untuk menggorengnya juga bersih. Tak seperti aneka rupa gorengan yang biasanya dijajakan di pinggir jalan itu. Bahkan seorang sahabat yang pernah saya ajak ke tukang gorengan murah meriah itupun mengakui kalau gorengan di situ enak, mirip sama gorengan yang ada di kota Semarang tempat kami kuliah dulu. Meski pada awalnya dia sempat ragu dan heran.

Oya selain makanan, di kota ini kamupun masih bisa mendapatkan baju lho....  
"Ah baju apan?"
Baju layak pakai lah. Lebih tepatnya baju bekas ataupun kadang kalau sisa ekspor.
"Dimana? Hari gini mana ada baju seharga itu!"
Ada kok, di Pasar Senen Jakarta Pusat. Kala itu secara tak sengaja saya dan seorang kawan secara tak sengaja mengobrak-abrik Pasar Senen dengan tujuan utama mencari jam tangan mainan buat gonta-ganti di kala bosan. Berhubung waktu itu sudah terlalu sore sehingga kami tak berhasil mendapatkan apa yang kami cari. Akhirnya kami memutuskan untuk iseng menggelandang ke area pakaian bekas. Wow disini benar-benar surga belanja jeans, jaket, dan kalau matamu jeli kawan, kalian bisa mendapatkan baju keren dengan harga yang sangat bersahabat. Bahkan kami juga menemukan bursa pasar baju seharga 1000 saat menjelang petang hari. Para pedagang itu menggelar dagangannya di area parkir motor yang mulai menyepi kala senja. Saya yakin yang begini pasti jarang bahkan mungkin tak ada di kota kalian bukan?

Jika kalian pandai mix and match (memadu padankan) maka kalian pun bisa berpenampilan keren tanpa harus membayar mahal. Simak saja penampilan para fashion blogger muda kita seperti Bethanny Putri  ataupun Heidy F.M. Kalalo, kadang kala penampilan keren mereka itu adalah hasil blusukan mereka di pasar-pasar seperti Pasar Senen dan Pasar Baru bukan hasil belanja dari pusat perbelanjaan terkenal. Namun lihat saja mereka malah menjadi trend setter karena pandainya mereka  nge-mix match baju-baju tadi. Bayangkan ternyata uang seribu juga mampu mengubah penampilan kita menjadi keren? Ajaib bukan?

Kita memang kadang kala sering dibutakan oleh kepongahan dunia sehingga kadang kala kita melupakan kebersahajaan uang kecil ini. Kita mengingatnya hanya saat kita membutuh uang parkir, ongkos angkota, ataupun hanya untuk saweran bagi para pengamen yang bersliweran. Kadang kala saat genting di depan toilet umum kita juga akan mencari-cari uang seribu ini dengan penuh cemas dan harap. Namun selebihnya kita lebih sering melupakan keberadaannya. Kita lupa kalau uang seribu ini sering pula menyelamatkan hajad hidup kita.

Cobalah kau ingat berapa banyak uang seribu yang bisa kau kumpulkan dalam sehari? Harga barang yang biasa kau beli di pusat perbelanjaan itu saja rata-rata kurang seribu rupiah dari harga seharusnya. Andai kau tahu bahwa itu semata-mata hanya demi mengaburkan dan mengecoh mata sang pembeli yang mengira harga barang tersebut lebih murah daripada seharusnya. Lihat saja bandrol barang yang bertebaran disana: 89.000, 99000, 109000, 119000, dan lain-lain. Saat kita membeli barang seharga Rp 89.000,- kita akan berpikir bahwa harga barang tersebut adalah delapan puluh ribuan, kita tak pernah menyadari bahwa sesungguhnya itu berharga Rp 90.000,- namun hanya kurang seribu rupiah saja. Itulah tipu daya pertokoan. Itu karena kita sering menyepelekan uang seribu rupiah. Betapa hebatnya uang seribu ini mengecoh dan memperdaya kita. Padahal tanpa seribu, uang Rp 999.999.000,- pun tak akan jadi semilyar. Sekarang coba kita hitung berapa banyak uang seribu yang kita buang dalam sehari? Apakah pembuangan dan pemborosannya cukup bermakna? Harusnya kita mulai menyadari bahwasanya yang sedikit ini bila dikumpulkan akan menjadi sesuatu yang besar dan berarti.

Ada lagi seorang kawan yang berkisah tentang seorang operator di pabriknya yang menjual jasa untuk membelikan makan siang bagi karyawan lainnya dengan upah hanya seribu rupiah per orang per hari. Setiap hari rata-rata ada 20-50 orang menitip pesanan makan siang ke si Bapak. Sebagian orang mungkin berpikir..."Ah hanya seribu kok upahnya daripada saya mesti capek-capek mengantri dan berpanas ria demi mendapatkan makan siang". Tapi siapa nyana bila mana uang seribu ini dikumpulkan? Paling tidak si Bapak bisa mengantongi 20-50 ribu per hari. Jumlah yang cukup lumayan untuk tambahan uang belanja si Ibu di rumah. Sementara gaji si Bapak bisa untuk membayar tagihan listrik dan uang sekolah anak-anaknya. Kadang saya juga tak habis pikir bagaimana dengan gaji rata-rata satu juta tiga ratus rupiah per bulan ini, si Bapak harus menghidupi isteri dan anak-anaknya? Bingung rasanya membayangkan bagaimana cara si Bapak dan isterinya mengatur keuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untunglah ide cemerlang si Bapak yang mengumpulkan uang seribu ini bisa sedikit membantu meringankan beban hidup mereka.

Selaras dengan kata pepatah bahwasanya "Sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit". Bila kita sabar dan tekun maka uang seribuan yang kita kumpulkan akan menjadi harta karun yang tak terkira. Itulah mungkin filosofi yang dipegang oleh si Bapak. Terbukti pula bahwa si penolong bukanlah si uang puluhan ribu namun hanya selembar uang seribu yang dikumpulkan dengan tekun oleh si Bapak. Satu lagi kesalutan saya pada si Bapak, menurut teman saya pesanan makan siang para karyawan yang dititipkan melalui si Bapak tak pernah salah ataupun meleset. Sungguh luar biasa si Bapak ini. Ingatan beliau pastilah sangat kuat atau paling tidak beliau senantiasa membawa buku catatan kecil untuk mencatat pesanan para pelanggannya. Pastilah beliau salah seorang yang memegang teguh filosofi "Pelanggan adalah raja", sehingga beliau berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa memuaskan para pelanggannya. Jadi kalau esok hari, saat makan siang tiba saya melihat seorang Bapak yang tengah sibuk mondar-mandir memesan makanan kesana kemari pastilah itu si Bapak yang dikisahkan oleh kawan saya. Sesaat sayapun terdiam dan ikut berdoa dalam hati, semoga semakin banyak orang yang menitip makan siang ke si Bapak. Amin Ya Rabb.

Dalam hatipun saya berjanji bahwa mulai sekarang dan seterusnya saya akan berusaha untuk lebih menghargai uang seribu ini. Mari kita senantiasa belajar untuk menghargai sesuatu yang kecil karena sesungguhnya hal besar itu seringkali dimulai dari sesuatu yang kecil. Seperti halnya uang seribu rupiah, meskipun ia kecil namun perannya dalam perekonomian kita tak dapat dikesampingkan begitu saja dan meski berperan besar dia tetap bersahaja, sederhana dan berkharisma. Dia berperan dari urusan perut, transportasi, hiburan, perparkiran sampai penunaian  hajadmu. Bahkan tak jarang pemunculannya di saat genting sangatlah ditunggu.

Yah itulah uang seribuku sayang. 
Yang sering hilang.
Yang sering melayang.
Yang sering dilupa.
Namun tetap bersahaja.

Selamat menikmati akhir pekanmu kawan, semoga menyenangkan dan indah selalu hari-harimu kawan :)